PERISTIWA TURUNNYA SOEHARTO
Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah
peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto
dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini,
ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk
mendesak Soeharto mundur.
Pada tanggal 21 Mei
1998, setelah berhari-hari
para mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan setelah kurang lebih 32 tahun
berkuasa, Soeharto
mengumumkan berhenti dari jabatan presiden.
Latar Belakang
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei
1998, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan
peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13—14 Mei
1998, yang menimbulkan
banyak korban baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin
meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto
dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan
kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto
mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.Senin, 18 Mei 1998 Proses
pendudukan gedung DPR/MPR RI dimulai dengan komitmen dari kontingen para ketua
lembaga formal kemahasiswaan Jakarta yang tergabung di Forum Komunikasi Senat
Mahasiswa Jakarta (FKSMJ)
untuk bermalam di gedung DPR/MPR RI sampai pimpinan dewan memastikan
pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan RI.Terdiri dari lebih kurang
50 orang ketua lembaga kemahasiswaan, kontingen ini menunjuk Henri Basel (Ketua
Senat Mahasiswa IKIP Jakarta) sebagai koordinator aksi dan Heru Cokro
(Sekretaris Jenderal Badan Perwakilan Mahasiwa UI) sebagai koordinator lapangan.
Pada sore hari tanggal 18 Mei
1998, kontingen berhasil
menemui pimpinan dewan bersama komponen-komponen aksi lain, dan mendapatkan
pernyataan dari ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko, yang menyerukan pengunduran
diri Soeharto.
Pernyataan ini disambut positif oleh para anggota kontingen tapi bagaimanapun,
ketika komponen-komponen aksi lain memutuskan untuk sementara pulang, kontigen
memutuskan untuk bermalam sampai Soeharto benar-benar mundur dari kepresidenan sekaligus
mempersiapkan kedatangan massa mahasiswa dari kampus masing-masing keesokan
harinya. Menduga proses aksi dan tuntutan akan
berjalan lancar setelah seruan dari Harmoko, malah terjadi sedikit kepanikan
pada para anggota kontingen ketika pada malam harinya Jenderal Wiranto
(Menhankam dan Pangab saat itu) menyatakan bahwa seruan Harmoko tidak
konstitusional. Kepanikan ini makin menjadi-jadi ketika di saat-saat berikutnya
kontingen terus menerus mendapat informasi bahwa gedung DPR/MPR RI akan diserbu
dan dikosongkan tentara. Sempat terjadi perbedaan pendapat di antara anggota
kontingen, antara memutuskan pulang atau tetap bermalam, walau kemudian
komitmen akhir seluruh kontingen adalah tetap bermalam, apapun yang terjadi.
Selasa, 19 Mei 1998
Mulai pagi, secara bergelombang,
berdatangan ribuan massa mahasiswa dari kampus-kampus yang para ketuanya telah
terlebih dahulu bermalam di gedung DPR/MPR RI di hari sebelumnya. Sampai saat
itu, sebagai koordinator lapangan yang ditunjuk, Heru Cokro
bertugas untuk mengkoordinir seluruh massa yang hadir dari masing-masing kampus
agar sesuai arahan kolektif dari kontingen FKSMJ dan koordinator aksi
(Henri Basel).Tapi dalam prosesnya, ternyata banyak massa mahasiswa yang
berdatangan bukan merupakan konstituen dari FKSMJ. Massa ini juga
menolak beraksi di bawah bendera dan arahan kolektif FKSMJ, yang akhirnya
berujung pada kecurigaan antar kelompok massa, kekacauan koordinasi dan praktis
tidak adanya kerjasama aksi antara satu kelompok dengan kelompok massa lainnya
di lapangan.Kekacauan pun bertambah parah bersamaan dengan kedatangan massa
dari Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto dan Yorrys Raweyai, yang
diasumsikan akan menolak usaha penuntutan pengunduran diri Soeharto.
Tidak adanya koordinasi di antara kelompok massa mahasiswa dan besarnya
kecurigaan antar kelompok, nyaris saja mengakibatkan bentrokan tidak perlu di
antara kedua kelompok massa tersebut.
Dalam usaha menghindari konflik, Heru
berhasil menemui Yapto dan kemudian melakukan rapat darurat dengan koordinator
lapangan massa PP, yang akhirnya menyepakati garis batas massa kelompok PP
serta sebuah komitmen untuk menghindari bentrokan. Massa PP tetap pada garis
batas yang ditentukan sampai kepulangan mereka.Kekacauan luar biasa yang
terjadi di lapangan coba dikelola dengan rapat koordinasi lapangan secara rally
(semua koordinator massa yang teridentifikasi harus hadir setiap 1 jam di
tempat yang ditentukan), sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan penyusunan
mekanisme aksi yang unik dimana seluruh kelompok massa (FKSMJ ataupun non FKSMJ) dikelola dalam
struktur operasi aksi tanpa berafiliasi pada kelompok tertentu, dimana struktur
ini kemudian menunjuk Heru Cokro sebagai Koordinator Jenderal. Di
lain sisi, arahan dan kebijakan kolektif para ketua lembaga di FKSMJ tetap akan
diakomodasi lewat Heru, tapi tetap dengan persetujuan anggota
struktur operasi aksi yang baru (yang berasal dari koordinator-koordinator aksi
dari masing-masing kelompok massa).
Menjelang Maghrib, setelah struktur
aksi yang baru berhasil mengontrol instalasi Car Call (satu-satunya alat
komunikasi yang mampu mencapai semua orang di gedung DPR/MPR RI) yang
sebelumnya dikuasai bergantian oleh kelompok-kelompok massa yang ada, Heru
berhasil memimpin massa dari semua kelompok massa untuk bersama-sama melakukan
Yell Reformasi, dimana untuk pertama kalinya seluruh kelompok massa akhirnya
terikat dalam sebuah aksi secara bersama-sama, yang berlanjut sampai akhir
aksi. Malam harinya, dalam rapat koordinasi struktur, terdengar kabar bahwa
besok akan ada demonstrasi akbar di Lapangan Monas yang dipimpin oleh Amien Rais.
Rapat pun memanas dengan desakan agar seluruh massa segera menggabungkan diri
dengan demonstrasi tersebut. Tapi perdebatan pun berhasil diakhiri dengan
komitmen untuk tetap di gedung DPR/MPR RI dengan argumen bila terjadi apa-apa
dengan rencana demonstrasi yang relatif riskan tersebut, akumulasi massa di
gedung DPR/MPR RI bisa menjadi pertahanan terakhir dalam menjaga momentum
reformasi ini. Rapat koordinasi ini pun berhasil menyepakati mekanisme dan
kontribusi masing-masing kelompok massa dalam langkah pengamanan aksi dan
prosedur pengungsian massa bila terjadi penyerbuan.
Rapat pun menyepakati sebuah langkah
keras untuk melakukan prosesi sidang rakyat yang diformat seolah-olah sebagai
parlemen alternatif, dengan menggunakan ruang sidang paripurna DPR/MPR RI
sebagai tempat sidang. Mulanya, ruang
sidang paripurna diusulkan untuk didobrak tanpa persetujuan sekretariat atau
pimpinan DPR/MPR RI. Tapi kemudian, dengan niat menghindarkan aksi dari citra
anarkis, rapat koordinasi menyepakati bahwa usaha penggunaan ruang sidang
paripurna akan dimulai dengan koordinasi damai antara koordinator jenderal
dengan sekretariat DPR/MPR RI. Dan bila ditolak, baru kemudian dilakukan usaha
pendobrakan secara paksa terhadap ruang sidang. Bagaimanapun, malam tanggal 19 Mei 1998
berakhir tenang, walau sempat terjadi sedikit kekacauan ketika mendadak ada
teriakan penyerbuan (menandakan tentara menyerbu) yang sempat menggegerkan
seluruh massa yang ada di gedung DPR/MPR RI (massa sempat berlari
tunggang-langgang kesana kemari), sebelum akhirnya ditenangkan dengan
penjelasan bahwa teriakan tersebut merupakan informasi yang salah.
Rabu, 20 Mei 1998
Sebagaimana amanat rapat di malam
sebelumnya, Heru
bersama Ahmad (salah satu tim aksi) pun menemui personel sekretariat DPR/MPR
RI. Tidak berani memutuskan untuk memberi izin penggunaan ruang sidang
paripurna, personel sekretariat ini pun mengantarkan Heru
dan tim untuk menemui Syarwan Hamid, Wakil Ketua DPR/MPR RI saat itu.
Ketika mendengar rencana prosesi itu, Syarwan Hamid hanya berkomentar bahwa
sebaiknya prosesi itu ditunda karena hari itu (20 Mei
1998), Soeharto
akan segera mengumumkan pengunduran dirinya. Kaget mendengar berita tersebut, akhirnya diputuskan bahwa untuk sementara
waktu prosesi ditunda sambil menunggu kebenaran informasi tersebut. Pada tanggal 20 Mei tersebut, aksi
berjalan meriah. Banyak tokoh nasional yang hadir di gedung DPR/MPR RI dan
bergiliran memberikan orasi ke massa. Kesemarakan ini pun makin besar, apalagi
setelah dipastikan, demonstrasi di lapangan Monas dibatalkan. Di saat yang sama, koordinasi kembali
kacau. Sebagai contoh, sekelompok mahasiswa tanpa koordinasi merobek-robek
kertas (disinyalemen kertas tersebut arsip sekretariat DPR/MPR RI) dan
melemparkannya ke arah massa. Sementara, di lain sisi, ratusan mahasiswa mulai
duduk-duduk dan berdiri di atas kubah gedung paripurna DPR/MPR RI. Beberapa
wartawan sempat memperingatkan stuktur kubah yang rapuh, dan rapat koordinasi
pun sebetulnya sempat memutuskan untuk melarang mahasiswa menaiki kubah
tersebut. Tapi, setelah mencoba memperingatkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di
atas kubah tanpa hasil, akhirnya diputuskan membiarkan penggunaan kubah dengan
menunjuk penanggung jawab yang menjaga kemungkinan terburuk. Puncak kekacauan,
adalah perebutan diri koordinator jenderal di antara kelompok-kelompok massa
yang hadir kemudian.
Di lain sisi, sampai sore tetap tidak
ada tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri dari jabatan presiden.
Akibatnya, rapat koordinasi mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima
oleh Heru,
apalagi untuk alasan itu rencana prosesi sidang rakyat ditunda. Akhirnya
diputuskan untuk menunggu sampai besok, bila belum ada tanda-tanda pengunduran
diri Soeharto,
maka prosesi sidang rakyat dan penggunaan ruang sidang paripurna akan
dilaksanakan, dengan cara damai atau paksa.
Malam harinya, suasana kembali tenang. Selain sempat diidentifikasi
sekelompok prajurit nontentara jaga DPR/MPR RI mengendap-endap dan seorang
perwira di kawal 2 prajurit membangunkan para tentara jaga (termasuk komandan
pengamanan gedung DPR/MPR RI yang tampak tergopoh-gopoh segera melapor pada
perwira ini), pada umumnya malam bisa berjalan tenang.
Kamis, 21 Mei 1998
Pagi itu, kelihatannya beberapa
kelompok massa ada yang sudah pulang, sehingga massa di gedung DPR/MPR RI
relatif lebih sedikit. Penanggung jawab yang ditunjuk untuk mempersiapkan
prosesi sidang rakyat tampak mulai mengumpulkan orang untuk persiapan, sebelum
kemudian beberapa wartawan tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa akan ada pengumuman
penting dari istana negara. Akhirnya, pagi itu Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya. Sesuai komitmen awal FKSMJ saat memulai aksi,
maka pengunduran diri Soeharto adalah tanda berakhirnya aksi. Oleh karenanya,
beberapa saat setelah pengumuman pengunduran diri Soeharto,
Heru
pun mengumumkan berakhirnya aksi pendudukan gedung DPR/MPR RI sekaligus
mengumumkan bahwa aksi pendudukan berubah menjadi pesta rakyat.Setelah
pengumuman pengakhiran aksi, terjadi perdebatan di antara struktur operasi yang
dibuat untuk mengawal proses pendudukan ini. Umumnya anggota struktur merasa
bahwa aksi seharusnya belum berakhir, dengan argumen Habibie
pengganti Soeharto
belum jelas komitmen reformasinya. Di ujung perdebatan, Heru
menegaskan tidak akan bergabung dalam aksi lanjutan dan mempersilahkan rapat
memilih koordinator jenderal baru. Akhirnya, rapat memilih Ahmad dari Universitas Padjadjaran (Unpad) untuk
menjadi koordinator jenderal dan mengubah struktur operasi menjadi sebuah
kelompok massa resmi. Malamnya, massa
yang tergabung dengan FKSMJ
sebagian besar memutuskan pulang.
Referensi
- (Inggris) New York Times: The Fall of Soeharto
- (Inggris) Online NewsHour: Giving Ground -- May 19, 1998
- (Indonesia) XPOS: Mereka Mendompleng Arus Reformasi
- (Indonesia) XPOS: Heru Cokro, Mahasiswa UI: "HABIBIE MESTI MENGUSUT SOEHARTO"
- (Indonesia) XPOS: Teroris di Era Reformasi
- (Indonesia) Indonesia: Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 - Sejarah dan Legenda
- (Indonesia) Gerakan Mahasiswa 1998: Pelopor Reformasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar